PERANAN ZOOBENTOS
BAB I
PENDAHULUAN
Ekosistem perairan pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang akhir-akhir
ini mendapat perhatian cukup besar dalam berbagai kebijaksanaan dan perencanaan
pembangunan di Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber
daya alam yang telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya
protein hewani. Dahuri (2002), meyatakan bahwa secara empiris wilayah
pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan
pesisir, transportasi dan pelabuhan, pertambangan, kawasan industri, agribisnis
dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat
pembuangan limbah.
Selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktifitas manusia di wilayah
pesisir menyebabkan daerah ini merupakan wilayah yang paling mudah terkena
dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan
kualitas perairan pesisir, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah.
Pengkajian kualitas perairan
dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan
kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa
fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan,
dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan,
karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat.
Bourdeau and Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam
lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas
hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas
perairan.
Hewan bentos hidup relatif
menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena
selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan
tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan
dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang
kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978). Diantara
hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan
lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok
invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos
(Rosenberg dan Resh, 1993).
Makrozoobentos mempunyai peranan
yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et
all. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos
berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan
siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik
yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber
makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air
yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi
(BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan
substrat dasar ((Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992).
Makalah ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang pemanfaatan
makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan, khususnya pada wilayah
pesisir. Adapun hal-hal yang dikemukakan meliputi pengertian
makrozoobentos, faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos,
pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan pesisir, dan
spesies indikator.
BAB
II
PEMBAHASAN
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus
hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali
lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini
memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi
dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta
menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan.
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi
organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat
menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang
masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga
mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen
perairan.
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen
primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang
menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan
alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar ("bottom feeder").
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam
kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik
yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos
dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan
maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan
saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam
Rosenberg
and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang
tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500
mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa
berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya
merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea
dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di
dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah:
Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida
(Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di
dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan
trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan
yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan
organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan.
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat
yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas
air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun
kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada
toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas
memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian
diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi
dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap.
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies
makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan
organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran
yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik.
Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan
kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada
kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme
intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak
bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme
toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang
berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai
tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar
oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat
menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos
dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran
yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit
(sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
Struktur komunitas
zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik.
Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos
adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya
yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia
seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien.
Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus
hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all.
1979). Secara skematis, Hawkes (1978) mengemukakan 14 faktor yang
mempengaruhi keberadaan hewan bentos di perairan (Gambar 1), sembilan
diantaranya merupakan faktor penentu kualitas perairan.
Cahaya matahari merupakan
sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh
badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan
yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu
air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di
dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme
perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan
mempercepat perkembang biakan organisme perairan.
Klein (1972) dalam
Yusuf (1994), menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun
senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N
terhadap hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan
akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah dan limbah yang
mengandung bahan organik protein.
Oksigen terlarut sangat
penting bagi pernafasan zoobentos dan organisme-organisme akuatik lainnya
(Odum, 1993). Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu
tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen
tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang
berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan.
Spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya
luas dan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di
tempat-tempat tertentu saja. Berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO),
Lee et al. (1978) mengelompokkan kualitas perairan atas empat
yaitu; tidak tercemar (> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5 – 6,5 mg/l),
tercemar sedang (2,0 – 4,4 mg/l) dan tercemar berat (< 2,0 mg/l).
Nilai pH menunjukkan derajat
keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa
toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Hal ini tergantung, pada
suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan
stadium organisme.
Kehadiran spesies dalam suatu
komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi
belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substratpun
ikut menentukan.
Tipe substrat dasar perairan
pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu juga oleh
kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997) dan
Barnes and Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam
tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Pada
daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, subtrat
cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai,
teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada
daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan
pantai yang curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu.
Substrat lumpur, merupakan
ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir
dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan
hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai
berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung
dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk
mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi
bentos pantai ini. Namun, berlimpahnya partikel organik yang halus yang
mengendap di dataran lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan
alat pernafasan.
Bentos yang dominan hidup di
daerah substrat berlumpur tergolong dalam “suspended feeder”. Diantara
yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalva, Crustaceae,
Echinodermata dan Bakteri. Disamping itu juga ditemukan gastropoda
dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan
kehadiran bentos.
Adapun substrat berpasir
umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain
itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat.
Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai
populasi diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi
organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel
(POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk
melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan
partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi
substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu
menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 – 1
mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau
dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak
ditemukan adalah kelompok suspended feeder dan karnivor. Organisme
yang dominan adalah polychaeta, bivalva dan crustacea.
Daerah pesisir dengan substrat
berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan
mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun
tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks
dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang
disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan
yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor
lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan
bentos yang banyak ditemukan termasuk kelompok herbivora, scavenger, suspended
feeder dan predator. Organisme bentos yang dominan adalah
kelompok epifauna, seperti gastropoda, crustacea, bivalva dan
echinodermata.
Kedalaman air mempengaruhi
kelimpahan dan distribusi zoobentos. Dasar perairan yang kedalaman airnya
berbeda akan dihuni oleh makrozoobentos yang berbeda pula, sehingga terjadi
stratifikasi komunitas menurut kedalaman. Pada perairan yang lebih dalam
makrozoobentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih
besar. Karena itu makrozoobentos yang hidup di perairan yang dalam ini
tidak banyak. Berdasarkan kedalaman laut Wright (1984), mengelompokkan
keberadaan hewan bentos dibagi atas tiga zone yaitu (1) zona intertidal (intertidal
zone), (2) zona paparan benua (continental shelf) dan (3) zona laut dalam
(deep sea).
Faktor fisika kimia lain yang
sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan makrozoobentos di perairan pesisir
adalah salinitas dan keterbukaan wilayah pesisir selama pasang surut serta
buangan limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksin) maupun
logam berat.
Daerah pasang surut khususnya
pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini
bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan
turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan
udara terbuka selama interval waktu tertentu. Pada saat pasang turun
(terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup bentos
mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan
suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal
organisme. Disamping itu, bentos juga dapat mati disebabkan oleh
kehabisan air. Disisi lain, adanya genangan pasang-surut, dapat digenangi
oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga terjadi
penurunan salinitas yang mendadak.
Buangan limbah, baik yang
mengandung senyawa-senyawa beracun (toksit) maupun logam berat, merupakan
faktor lain yang juga mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan
pesisir. Bahan-bahan ini berasal dari daerah aliran sungai maupun areal
pemukiman – kota dipinggiran pantai serta kawasan atau industri yang membuang
limbah ke laut.
Penggunaan makrozoobentos
sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi.
Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat
kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis
organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak
tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini
dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan
karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan.
Metode kualitatif tertua untuk
mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971)
yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan
tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik
mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan
yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum
tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi
fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya
dikarenakan daur hidupnya.
Adanya kelemahan sistem
saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan
metode pendekatan memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan
berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan
yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya
pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks
keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis.
Keragaman jenis disebut juga
keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur
komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi
dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang
melimpah.
Indeks keragaman jenis (H')
menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk mempermudah
dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam
suatu komunitas. Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah Indeks
keragaman Shannon - Wiener.
Perbandingan antara keragaman
dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman populasi, yang
disimbulkan dengan huruf E. Nilai E ini berki-sar antara 0 - 1.
Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi, artinya
penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu
spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak
ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi suatu spesies
digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan nilai indeks
keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener,
dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air
yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu.
Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar.
Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et
all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman
zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat
(0<H'<1), setengah tercemar (1<H'<2), tercemar ringan
(2<H'<3) dan tercemar sangat ringan (3<H<4,5). Kisaran nilai
H' tersebut merupa-kan bagian dari penilaian kualitas air yang dilakukan secara
terpadu dengan faktor fisika kimia air. Sedangkan Lee et all.
(1978) menyatakan bahwa nilai indeks keragaman (H) pada perairan tercemar
berat, kecil dari satu (H<1), tercemar sedang (1,0 - 1,5), tercemar ringan
(1,6 – 2,0), dan tidak tercemar H besar dari dua (H>2,0).
Pengembangan metode indeks
diversitas dilakukan oleh Warent (1971) dan May (1975) dalam Magurran
(1988), yaitu menggunakan model distribusi kelimpahan jenis. Model
distribusi kelimpahan jenis ini pada dasarnya menggunakan parameter yang sama
namun dalam perhitungannya lebih bervariasi misalnya rangking spesies,
kelimpahan observasi, kelimpahan teoritis, dan uji kesesuaian model, sehingga
model ini lebih mendekati keadaan perairan sesungguhnya.
Model distribusi kelimpahan
spesies dapat menerangkan mekanisme pem-bagian dan pemanfaatan sumber daya
dalam komunitas (Magurran, 1988). Model-model tersebut adalah: Model
Geometrik, Model Log Normal dan Model Broken Stick. Model Geometrik
menggambarkan keadaan ekosistem perairan dimana organisasi komunitas bersifat
kompetitif dan mengalami gangguan, produktifitas rendah, pembagian sumber daya
dalam komunitas tidak merata (Southwood, 1978) dan dalam tingkat suksesi awal
atau lingkungan sangat terganggu (Magurran, 1988). Model Log normal
menggambarkan organisasi komunitas yang layak, pembagian relung yang mantap
atau merata, lingkungan perairan yang stabil sehingga mencirikan suatu
komunitas yang seimbang. Model Broken Stick menggambarkan suatu komunitas
yang stabil dan tidak ada kompetisi, pembagian relung mengacak tanpa tumpang
tindih dan lingkungan sangat stabil dan produktif.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Zoobentos
merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan,
baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang.
2. Berdasarkan
teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun
bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
3.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya
adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan
Annelida.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P. 1989. Water Pollution Biology. Department
of Biology. Sunderland Polytechnic. Ellis Horwood limited. England.
Cummins, K. W. 1975. Fishes dalam Whitton
B. A. (ed.). River Ecology. Black-well Scient Publ. Oxford.
0 comments:
Post a Comment