Wednesday, December 4, 2013

Jurnal PenelitianKu



POTENSI JAMUR PELAPUK KAYU ISOLAT MAKASSAR DALAM MENDEKOMPOSISI LIMBAH KULIT BUAH KAKAO Theobroma cacao L.

Yunianti Timang*, Nur Haedar A. Nawira, Tutik Kuswinantib
*Alamat korespondensi e-mail: yuniradcliffe@ymail.com
a,bJurusan Biologi FMIPA Universitas Hasanuddin


ABSTRAK. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektivitas dari 7 isolat jamur pelapuk kayu dalam dekomposisi limbah kulit buah kakao secara in vitro, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Limbah kulit buah kakao dicampurkan dengan dedak dan kapur dengan perbandingan 5 : 1 : 0,05 lalu diisi ke dalam baglog dan disterilisasi. Setelah inokulasi, baglog diinkubasi pada suhu ruangan. Pengamatan meliputi kecepatan pertumbuhan jamur pelapuk secara visual tiap selang waktu 3 hari dan persentase kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa pada 30 hari. Hasil penelitian memperlihatkan persentase penurunan tertinggi diantara ketiga komponen tersebut yaitu hemiselulosa yang mencapai 61,69% pada isolat JM, diikuti oleh komponen selulosa dengan persentase penurunan sebesar 31,07% pada isolat MKS. Sedangkan penurunan kandungan lignin secara umum masih sangat rendah, penurunan tertinggi hanya mencapai 10,73% pada isolat B.
Kata kunci : kulit buah kakao, dekomposisi, jamur pelapuk


ABSTRACT. The purpose of this research was to examine the effectiveness of 7 isolates of wood rot fungi in the decomposition of waste cocoa pods in vitro, that can be used as compost. Waste cocoa pods and lime mixed with rice bran in the ratio 5: 1: 0.05 and then filled into baglog and sterilized. After inoculation, baglog was incubated at room temperature. Observations included the growth rate of rot fungi visually with interval of 3 days and the percentage content of lignin, cellulose, and hemicellulose in 30 days after inoculation. The results showed that the highest percentage in reduction among the three components, namely hemicellulose (61.69%) with JM isolates, followed by cellulose component (31.07%) by MKS isolate. Decreasing of lignin content in general was still very low. The highest reduction (10.73%) was observed in treatment with B isolate.
Keywords: cocoa pods, decomposition, rot fungi.


PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga saat ini. Tahun 2009 produksi biji kakao mencapai 480.000 ton. Produsen terbesar kakao di dunia ditempati Pantai Gading dengan produksi sebesar 1.300.000 ton sementara Ghana sebanyak 750.000 ton. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7% dari luas seluruh perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai 1.592.982 ha (Asnil, 2009).
Pesatnya perkembangan perkebunan kakao di Indonesia juga diikuti oleh beberapa permasalahan, di antaranya meningkatnya limbah yang dihasilkan sebagai akibat meningkatnya produksi kakao (Susanto, 1994). Menurut Haryati dan Hardjosuwito (1984), buah kakao mengandung 74% kulit buah, 2,0% plasenta, dan 24,2% biji. Mengingat besarnya kandungan kulit buah kakao, maka perlu diusahakan pemanfaatannya.
Kulit buah kakao merupakan salah satu hasil samping kakao yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Kulit buah kakao umumnya langsung dibuang sebagai limbah, padahal kulit buah kakao ini dapat diolah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Beberapa penelitian tentang pemanfaatkan kulit buah kakao antara lain sebagai pakan ternak (Supadiyo, 1980), pembuatan tepung (Supriyanto, 1989; Muttaqin, 1996), dan pembuatan ekstrak pektin (Endah, 1990). Selain itu, kulit buah kakao kaya akan nutrisi dan dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kompos.
Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai kompos akan meningkatkan ketersediaan pupuk organik yang akan sangat membantu kebutuhan pupuk petani sehingga ketergantungan terhadap pupuk kimia dapat dikurangi karena sulit diperoleh. Selain itu, mengurangi pencemaran lingkungan akibat pembuangan kulit buah kakao yang kurang baik. Penggunan kulit buah kakao sebagai mulsa yang disebarkan disekeliling tanaman dapat menjadi tempat tumbuh cendawan yang dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah, hawar daun dan kanker batang tanaman kakao sehingga dapat menurunkan produksi tanaman tersebut (Tequaia et al. 2004).
Namun, pemanfaatan limbah kulit buah kakao ini mempunyai faktor pembatas seperti kualitas nutrisi yang rendah akibat kandungan serat kasar yang tinggi (40,03%), adanya kandungan alkaloid theobromin (0,17%-0,22%), dan protein (22%) (Laconi, 1998). Menurut Ammirroenas (1990), serat kasar pada kulit buah kakao terdiri dari selulosa 36,23%, hemiselulosa 1,14%, dan lignin 20%-27,95%. Sedangkan menurut Laconi (1998) kandungan lignin pada kulit buah kakao lebih besar dibandingkan selulosa yakni sekitar 38,78%.
Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan untuk menurunkan kandungan serat kasar pada kulit buah kakao (Preston and Leng, 1987). Salah satu teknik pengolahannya secara biologis dengan memanfaatkan organisme yang mampu menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel seperti selulase, hemiselulase, dan enzim pemecah lignin. Beberapa kelompok organisme dilaporkan mampu mendegradasi senyawa lignin, selulosa, dan hemiselulosa adalah jamur. Jamur merupakan organisme lignoselulolitik yang memiliki kemampuan besar dalam mendekomposisi lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Di alam terdapat tiga kelompok jamur yang dapat menguraikan komponen kayu (lignoselulosa) yaitu jamur pelapuk coklat (brown rot), jamur pelapuk putih (white rot) dan jamur pelapuk lunak (soft rot) (Tillman et al. 1989).
Berdasarkan pertimbangan bahwa jamur pelapuk kayu merupakan pendekomposisi yang paling aktif, maka penting dilakukan seleksi untuk memperoleh jamur pelapuk kayu isolat Makassar terbaik dalam dekomposisi limbah kulit buah kakao dan produk akhirnya dapat menghasilkan pupuk untuk memperbaiki ketersediaan pupuk organik/ kompos.

METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, oven, cawan petri, tabung erlemeyer, bunsen, batang pengaduk, gelas ukur, gelas piala, ose lurus, jarum preparat, pisau skalpel, botol selai, ember, gunting, kamera, hand sprayer, timbangan, enkas, dan LAF (Laminary Air Flow).
Bahan yang digunakan adalah isolat jamur pelapuk kayu, kulit kakao, alkohol 70%, aquadest, media Potato Dekstrosa agar (PDA), tissue, kapas, plastik parafilm, pipa paralon dengan diameter 3 cm, karet gelang, kertas label, spiritus, kapas, chloramphenicol 500 mg, dedak, kapur pertanian, aluminium foil, dan plastik polipropilena (PP).

B. Prosedur Kerja
Sterilisasi Alat
Semua alat yang digunakan dalam penelitian ini harus dalam keadaan steril dan bebas dari segala bentuk kehidupan terutama mikroorganisme. Untuk alat yang terbuat dari bahan gelas dicuci menggunakan sabun dan dibilas dengan air lalu dikering-anginkan, kemudian disterilkan dengan menggunakan oven pada suhu 180°C selama 2 jam. Sedangkan alat-alat non gelas yang tidak tahan panas, dicuci dan dikering-anginkan lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 2 atm selama 15-30 menit. Alat-alat yang terbuat dari logam seperti ose lurus, jarum preparat, dan pisau skalpel disterilkan dengan cara dibilas dengan alkohol lalu dipanaskan di atas nyala api bunsen hingga pijar. Alat lain yaitu enkas disterilkan dengan menyemprotkan alkohol 70% pada seluruh bagian dalam enkas, lalu diberikan pemanasan dengan menyalakan api bunsen kemudian segera pintu enkas ditutup dan dibiarkan selama 30 menit sebelum digunakan.

Pembuatan Medium Potato Dekstrosa Agar (PDA)
Pembuatan media PDA digunakan kentang 200 gram, agar 20 gram,  dekstrosa 15 gram dan aquadest. Pada tahap pertama kentang yang telah dipotong-potong kecil direbus dengan aquadest sebanyak 1 liter sampai mendidih. Kemudian air rebusan kentang disaring dan diambil sari dan airnya lalu diukur volumenya dalam gelas ukur. Tambahkan aquades steril untuk mencukupkan volume hingga 1 liter sebagai pengganti volume air yang hilang saat pemanasan. Kemudian ditambahkan agar dan dekstrosa lalu dipanaskan di atas penangas hingga homogen. Kemudian erlenmeyer ditutup dengan kapas dan aluminium foil, selanjutnya medium siap untuk disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 2 atm.

Peremajaan
Isolat jamur yang digunakan pada penelitian ini merupakan isolat jamur pelapuk kayu di sekitar Makassar yang di beri nama dengan kode isolat MKS, JM, KSB, KSH, isolat B, C, dan E. Isolat jamur ini telah tersedia dan merupakan koleksi dari Laboratorium Bioteknologi Pusat Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin Makassar.
Peremajaan mikrobia pada prosedur ini dilakukan dengan cara yang dikembangkan oleh Isnaini dkk (2006). Isolat jamur yang ada dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm lalu dipindahkan ke cawan petri yang berisi medium Potato Dekstrosa Agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu kamar selama 5 hari.

Pembuatan Substrat Bahan Organik Sebagai Media Tumbuh Isolat Jamur
Pembuatan substrat bahan organik ini menggunakan kulit buah kakao, dedak, dan kapur pertanian dengan perbandingan 5:1:0,05. Pertama-tama kulit buah kakao sebanyak 12 kg dicuci bersih lalu dihancurkan menjadi bagian yang lebih kecil dengan cara digiling, selanjutnya dicampurkan dengan dedak sebanyak 2,4 kg dan kapur sebanyak 120 gr, dicampur rata dengan ditambahkan air sampai merata. Kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas (plastik polipropilena) sebanyak 500 gram. Pada plastik polipropilena dibuatkan mulut plastik dari pipa paralon dengan diameter 3 cm lalu ditutup dengan kapas penyumbat yang telah dibungkus dengan aluminium foil kemudian diautoklaf selama 7 jam.

Seleksi Jamur Lignolitik
-     Inokulasi Isolat Jamur Pada Substrat Bahan Organik
Media yang berisi isolat jamur dalam cawan petri dipotong-potong kecil dengan ukuran 1 cm x 1 cm kemudian sebanyak 5 potongan isolat jamur tersebut dimasukkan ke dalam plastik yang berisi substrat bahan organik yang telah disterilkan, lalu diaduk-aduk agar dapat tercampur merata. Isolat jamur yang digunakan pada substrat bahan organik ini sebanyak 7 isolat jamur pelapuk. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar dan dilakukan pengamatan pertumbuhan koloni jamur pelapuk setiap selang waktu tiga hari sekali selama satu bulan (30 hari).
-     Analisa Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa
Sebelum dan setelah fermentasi dilakukan penimbangan bobot limbah dan pengamatan terhadap tekstur produk fermentasi serta analisis kandungan serat kasar (CF). Untuk menentukan kadar lignin,   selulosa, dan hemiselulosa terlebih dahulu ditentukan kadar Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral Detergent Fiber (NDF) dengan menggunakan metode Van Soest.
a.    Penentuan Kadar Acid Detergent Fiber (ADF)
Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dtambahkan 50  ml  larutan ADS dan 2 ml decalin. Dipanaskan selama 1 jam diatas penangas air. Kemudian dilakukan penyaringan dengan bantuan pompa vakum, juga dengan menggunakan penyaring kaca masir yang sudah di timbang sebagai b gram, Pencucian di lakukan dengan menggunakan hexan,  acetone dan air panas. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan memasukkan   hasil penyaringan tersebut dalam oven, setelah dimasukkan lagi di dalam desikator untuk melakukan pendinginan dan ditimbang sebagai c gram.









b.    Penentuan Neutral Detergent Fiber (NDF)
Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) di masukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml, serta di tambahkan dengan 50 ml larutan NDS dan 0,5 gram Na2SO3 lalu dipanaskan selama 1 jam. Menimbang kaca masir sebagai b gram. Kemudian melakukan penyaringan dengan bantuan pompa vakum dibilas dengan air panas dan acetone. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105°C setelah itu dimasukkan lagi dalam eksikator selama 1 jam, kemudian dilakukan penimbangan akhir sebagai c gram.


Keterangan:
a      : berat sampel
b     : berat kaca masir

Untuk memisahkan selulosa dari lignin, ADF ditambahi H2SO4 dingin, sehingga selulosanya akan larut. Selanjutnya residu yang tertinggal dicuci dengan air hangat (85-95oC) sampai bebas dari asam. Lalu dikeringkan, dengan menggunakan oven 105°C dan selanjutnya dilakukan pendinginan dengan   desikator lalu ditimbang sebagai berat akhir (e gram). Selisih bobot antara ADF dengan residu tersebut adalah selulosa.



Setelah residu ditimbang, lalu dibakar pada suhu 500oC kemudian didinginkan dalam desikator serta disimpan kembali sebagai berat akhir (f gram). Abu sisanya setelah dingin ditimbang dan selisih antara residu dengan abu adalah lignin.










Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan pengamatan secara deskriptif dimana melihat pertumbuhan koloni jamur yang memenuhi baglog. Isolat jamur yang paling cepat tumbuh dan memenuhi baglog yaitu isolat yang mempunyai kemampuan dalam memanfaatkan kulit kakao sebagai sumber makanannya. Untuk mengetahui lebih detail mengenai penurunan kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada kulit buah kakao maka substrat kulit buah kakao akan di analisis pada Laboratorium Kimia dan Makanan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Isolat Jamur Pelapuk pada Media Kulit Buah Kakao
Sebanyak tujuh jamur pelapuk isolat Makassar diberi nama dengan kode MKS, JM, KSH, KSB, isolat B, C, dan isolat E. Parameter pengamatan meliputi pertumbuhan hifa secara visual dan kandungan lignoselulolitik yang diamati pada akhir minggu ke 4.
Berdasarkan hasil skrining dari beberapa isolat jamur yang ada, ketujuh isolat jamur pelapuk ini merupakan isolat jamur yang memiliki kemampuan menguraikan kandungan lignoselulolitik. Dari tujuh isolat jamur pelapuk yang diuji pada media kulit buah kakao selama 3 hari sampai 30 hari, masing-masing memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda-beda.








Pengamatan pada hari ke-3 menunjukan adanya beberapa isolat yang sudah mengalami pertumbuhan diantaranya isolat MKS, JM, dan KSH. Sedangkan isolat jamur KSB, isolat B, isolat C, dan isolat E belum menunjukan adanya pertumbuhan koloni yang terbentuk.













Setelah 30 hari pengamatan semua isolat jamur pelapuk penyebarannya sudah terlihat jelas pada substrat kulit buah kakao, tetapi isolat yang pertumbuhannya sangat bagus hingga pengamatan terakhir yaitu isolat JM, MKS, KSB, dan isolat E.
Kemampuan pertumbuhan masing-masing isolat jamur pelapuk dalam baglog berbeda-beda, ada isolat yang pertumbuhannya cepat dan ada juga isolat jamur yang pertumbuhannya lambat hingga pengamatan terakhir. Berikut tabel parameter pengamatan awal dan akhir dari ketujuh isolat jamur pelapuk.
 




















Parameter pengamatan setelah 3 hari inokulasi menunjukan adanya pertumbuhan miselium dari isolat jamur MKS, JM, dan KSH pada bagian atas baglog walaupun miselium yang terbentuk hanya sedikit sedangkan isolat lainnya belum menunjukan adanya pertumbuhan miselium. Miselium dari isolat jamur MKS dan JM berwarna putih sedangkan miselium dari isolat KSH berwarna agak kehijauan.
Pertumbuhan miselium dari isolat jamur KSB, isolat B, C, dan E terlihat pada pengamatan kedua yaitu setelah 6 hari inokulasi, dengan pertumbuhan yang dimulai dari bagian atas baglog. Adapun miselium dari isolat jamur KSB, isolat B, C, dan E berwarna putih kecoklatan.
Parameter pengamatan setelah 30 hari memperlihatkan pertumbuhan miselium yang bagus dari isolat MKS, JM, KSB, isolat C, dan isolat E. Hal ini ditandai dengan adanya pertumbuhan miselium yang hampir menutupi seluruh bagian baglog. Sedangkan isolat B dan KSH menunjukan pertumbuhan miselium yang hanya setengah menutupi baglog. Miselium dari isolat jamur MKS, KSH, KSB, isolat B, C, dan E berwarna putih kecoklatan, dan miselium dari isolat JM berwarna putih pada baglog.
Isolat B dari awal sampai pengamatan terakhir belum memperlihatkan pertumbuhan yang maksimal seperti isolat lainnya, pertumbuhannya masih lambat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya suhu, kelembaban ruangan, dan intensitas cahaya. Suhu pertumbuhan jamur pada saat inkubasi lebih tinggi dibanding pada saat pembentukan tubuh buah. Suhu inkubasi jamur berkisar antara 22-28oC dengan kelembaban 60-80%, sedangkan suhu pada saat pembentukan tubuh buah berkisar antara 16-22oC dengan kelembaban 80-90%. Selain suhu dan kelembaban, faktor cahaya dan sirkulasi udara perlu diperhatikan. Intensitas cahaya yang diperlukan pada saat pertumbuhan sekitar 10%. (Yuniasmara et al. 2004).

Analisis Kandungan Selulosa, Hemiselulosa, dan Lignin
Pada analisis kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin, terlebih dahulu ditentukan kandungan NDF dan ADF dari substrat kulit buah kakao setelah 30 hari diinokulasikan jamur pelapuk.
















Analisis kandungan pada kulit buah kakao terlihat bahwa tiap isolat jamur yang diujikan memiliki kemampuan mendekomposisi yang berbeda-beda. Kandungan kulit buah kakao (kontrol) sebelum diinokulasikan beberapa isolat jamur pelapuk memiliki kandungan serat kasar yang terdiri dari 14,77% selulosa, 15,43% hemiselulosa, dan 57,2% lignin.
















           
Tabel 3 di atas menunjukan beberapa isolat jamur pelapuk umumnya memiliki kemampuan untuk mendekomposisi hemiselulosa dan selulosa, sedangkan kandungan lignin pada kulit buah kakao hanya mengalami sedikit penurunan. Persentase penurunan kandungan hemiselulosa tertinggi mencapai 61,69% dengan kemampuan dekomposisi dari isolat JM sedangkan isolat B memiliki kemampuan dekomposisi dengan persentase penurunan terendah yang hanya mencapai 6,61%. Pada komponen selulosa, persentase penurunan tertinggi terdapat pada kemampuan dekomposisi isolat MKS sebesar 31,07% dan terendah pada isolat E yang kemampuan dekomposisinya hanya mencapai penurunan sebesar 1,96%. Penurunan kandungan lignin setelah inokulasi selama 30 hari, secara umum penurunannya masih sangat rendah pada semua perlakuan isolat jamur pelapuk, penurunan tertinggi hanya mencapai 10,73% dengan kemampuan dekomposisi dari isolat B diikuti oleh kemampuan isolat JM sebesar 10,31.
Pada penelitian ini menunjukan kemampuan dari isolat JM dalam mendekomposisi hemiselulosa dengan penurunan tertinggi, dimana hal ini memperlihatkan pertumbuhan yang sejalan dengan pengamatan miselium pada baglog. Begitu pun penurunan tertinggi pada kandungan selulosa yang dicapai oleh kemampuan dekomposisi dari isolat MKS, menunjukan pertumbuhan yang sejalan dengan pengamatan miselium. Tetapi berbeda dengan lignin, kemampuan dari isolat B dalam mendekomposisi lignin tidak menunjukan pertumbuhan yang sejalan dengan pengamatan miselium pada baglog. Pertumbuhan miselium pada isolat B sangat lambat, hanya memiliki pertumbuhan di bagian permukaan dan sedikit di dasar baglog. Selain itu, kemampuan isolat B mendekomposisi lignin dengan penurunan tertinggi diantara isolat lainnya tidak mengalami penurunan yang begitu signifikan.









Gambar 4. Persentase Penurunan Kandungan Hemiselulosa, Selulosa, dan Lignin pada Kulit Buah Kakao
Berdasarkan Gambar 4, komponen hemiselulosa mengalami penurunan paling besar pada tiap perlakuan isolat jamur pelapuk dibanding dengan komponen selulosa dan lignin. Penurunan terbesar kedua diikuti oleh selulosa, sedangkan lignin belum memperlihatkan penurunan yang signifikan hingga pada akhir pengamatan.
Penurunan komponen hemiselulosa paling besar dikarenakan hemiselulosa mengalami reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu dibandingkan selulosa dan lignin. Hal ini disebabkan hemiselulosa memiliki rantai lebih pendek dan bercabang dibanding selulosa yang memiliki rantai panjang (Fengel dan Wenger, 1995). Selain itu, menurut Perez dkk (2002) hemiselulosa mempunyai berat molekul rendah yang terdiri dari D-xilosa, D-mannosa, D-galaktosa, D-glukosa, L-arabinosa, 4-0-metil glukoronat, D-galakturonat dan asam D-glukoronat sehingga mudah terdegradasi.
Hemiselulosa merupakan salah satu penyusun dinding sel tumbuhan yang terdiri dari kumpulan beberapa unit gula/ heteropolisakarida dan dikelompokkan berdasarkan residu gula utama sebagai penyusunnya seperti xilan, mannan, galactan dan glucan (Fengel dan Wegener, 1995).
Pada penelitian ini, selulosa menempati urutan kedua setelah hemiselulosa didegradasi oleh isolat jamur pelapuk. Umumnya selulosa mempunyai sifat fisik yang lebih kuat, lebih tahan lama terhadap degradasi yang disebabkan oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh biologis. Pada tanaman, selulosa dilapisi oleh polimer yang sebagian besar terdiri dari xilan dan lignin. Xilan dapat didegradasi oleh xilanase, akan tetapi lignin sangat sulit terdegradasi. Jika xilan dan lignin dihilangkan, maka selulosa dapat didegradasi oleh selulase dari bakteri atau kapang selulolitik untuk menghasilkan selobiosa dan glukosa (Bayer et al. 1994).
Penguraian kandungan lignin oleh beberapa isolat jamur pelapuk merupakan penurunan yang paling rendah diantara hemiselulosa dan selulosa. Hal ini dikarenakan lignin bersifat rekalsitran yaitu tidak mudah terurai. Struktur lignin yang kompleks berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman mengakibatkan lignin sulit untuk terurai. Oleh karena itu, penguraian lignin membutuhkan enzim yang khusus karena lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul yang tinggi (Orth et al. 1993).
Biodegradasi lignin adalah kemampuan yang unik yang dimiliki oleh beberapa jenis jamur yang mampu menghasilkan enzim lignolitik. Lignin diuraikan oleh enzim dengan proses oksidatif sedangkan selulosa dan hemiselulosa diuraikan enzim dengan proses hidrolitik. Pemisahan secara oksidatif antara karbon dengan karbon dan antara ikatan eter dengan ikatan eter lainnya termasuk unit-unit fenilpropan dilakukan oleh enzim peroksidase. Untuk kelangsungan reaksi enzimatik diperlukan sumberdaya ekstraseluler H2O2 (Zabel dan Morel, 1992).
Lignin berbeda dari selulosa dan hemiselulosa karena lebih tahan terhadap biodegradasi. Dalam pendegradasian selulosa akan diubah menjadi rantai-rantai linear dan unit-unit disakarida (selobiosa) oleh enzim selulase, lalu selobiosa dihidrolisis menjadi glukosa oleh enzim selulase. Degradasi lignin oleh jamur pelapuk terjadi paling akhir (Moore-Landecker, 1990).
Jamur pelapuk mendepolimerisasi oksidatif lignin dengan mensekresi beberapa enzim, seperti lignin peroxidase, manganese peroxidase, dan lakase (Acunzo et al. 2002). Lignin peroxidase dan manganese peroxidase mengoksidasi komponen utama dari polimer lignin yaitu senyawa aromatik non fenolik dengan potensial reduksi oksidasi yang tinggi. Sedangkan lakase mengoksidasi struktur lignin fenolik yang merupakan kandungan minor dari polimer lignin (Srebotnik et al. 2003).

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan pada kulit buah kakao isolat jamur JM memiliki kemampuan mendegradasi komponen hemiselulosa terbaik dengan penurunan tertinggi mencapai 61,69%, sedangkan untuk komponen selulosa paling banyak didekomposisi oleh isolat MKS dengan penurunan tertinggi mencapai 31,07%. Isolat B memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan isolat lainnya dalam dekomposisi lignin dengan penurunan mencapai 10,73%. Isolat jamur pelapuk yang paling cepat pertumbuhannya memenuhi bahan organik pada substrat kulit kakao dalam baglog adalah isolat JM dan MKS.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis isolat jamur pelapuk kayu yang mampu mendekomposisi ketiga komponen substrat organik tersebut serta rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui masa dekomposisi bahan organik yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Amirroenas, D. E., 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet Dengan Bahan Serat Biomassa POD Coklat Untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan. Tesis Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Asnil, B. A., 2009. Produksi Kakao diprediksi Meningkat. http://industri.kontan.co.id. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012..

Bayer, E.A., E. Morag, dan R. Lamed, 1994. The Cellulosome- A Treasure-Trove for Biotechnology. TIBTECH 12, 379-386.

Endah, C.N., 1990. Optimasi Ekstraksi Pektin Kulit Buah Kakao. Skripsi FTP UGM. Yogyakarta.

Fengel, D., dan G. Wegener, 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. (Terjemahan). Gadjah Mada Univ Press. Yogyakarta.

Harjosuwito dan Tri Haryati, 1984. Pemanfaatan Limbah Hasil Perkebunan Coklat Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Pektin. Menara Perkebunan 52, G: 213-216.

Isnaini, M., Rohyadi A., dan Murdan, 2004. Identifikasi dan Uji Patogenisitas Jamur-Jamur Penyebab Penyakit Busuk Batang Tanaman Vanili Di Lombok Timur. Laporan Penelitian-Pusat Penelitian Universitas Mataram.

Laconi, E.B., 1998. Peningkatan Mutu pod Kakao Melalui Amoniasi dengan Urea dan Biofermentasi dengan Phanerochaete chriysosporium dan Penjabarannya ke dalam Ransum Ruminansia. Program Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor. Bogor.

Moore-Landecker, E., 1990. Fundamentals of The Fungi. Fourth Edition Prentice.

Muttaqin, I., 1996. Tepung Kulit Buah Kakao sebagai Campuran Pembuatan Roti Tawar. Skripsi FTP UGM. Yogyakarta.

Perez, J., J.M. Dorado, T. Rubia, dan J. Martinez, 2002. Biodegradation and Biological treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: An Overview. Int. Microbiol. 5, 53-63.
Preston, T.R. dan R.A. Leng, 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in The Tropics and Subtropics. Penambul Books Armidale. Australia.

Srebotnik, E., K.A. Jensen dan K.E. Hammel, 1998. Cleavage of Nonphenolic Lignin Structure by Laccase in The Presence of 1- Hydroxibenzotriazole. Proc Natl Acad Sci 91:12794-12797.

Srebotnik E., K.A. Jensen dan K.E. Hammel, 1994. Fungal Degradation Of Recalcitrant Nonphenolic Lignin Structure Without Lignin Peroxidase. Proc Natl Acad Sci 91:12794-12797.

Suparjo, 2010. Analisis Bahan Pangan Secara Kimiawi, Analisis Proksimat dan        Analisis Serat. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan.             Universitas Jambi.

Supriyanto, 1989. Karakterisasi Tepung Kulit Buah Kakao. Laporan Penelitian FTP UGM. Yogyakarta.

Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Tequia, A., Endeley HNL. dan Beynen A.C., 2004. Broiler performance upun dietary substitution of cocoa husks for maize. Int J Poul Sci 3 (12) : 799-782.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

0 comments:

Post a Comment