POTENSI JAMUR PELAPUK KAYU ISOLAT
MAKASSAR DALAM MENDEKOMPOSISI LIMBAH KULIT BUAH KAKAO Theobroma cacao L.
Yunianti Timang*, Nur Haedar A. Nawira, Tutik Kuswinantib
*Alamat korespondensi e-mail: yuniradcliffe@ymail.com
a,bJurusan Biologi FMIPA Universitas Hasanuddin
ABSTRAK. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
efektivitas dari 7 isolat jamur pelapuk kayu dalam dekomposisi limbah kulit
buah kakao secara in vitro, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan sebagai
kompos. Limbah kulit buah kakao dicampurkan dengan dedak dan kapur dengan
perbandingan 5 : 1 : 0,05 lalu diisi ke dalam baglog dan disterilisasi. Setelah
inokulasi, baglog diinkubasi pada suhu ruangan. Pengamatan meliputi kecepatan
pertumbuhan jamur pelapuk secara visual tiap selang waktu 3 hari dan persentase
kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa pada 30 hari. Hasil penelitian memperlihatkan persentase penurunan tertinggi diantara ketiga komponen tersebut yaitu hemiselulosa
yang mencapai 61,69% pada isolat JM, diikuti oleh komponen selulosa dengan
persentase penurunan sebesar 31,07% pada isolat MKS. Sedangkan penurunan kandungan
lignin secara umum masih sangat rendah, penurunan tertinggi hanya mencapai
10,73% pada isolat B.
Kata kunci : kulit buah kakao, dekomposisi,
jamur pelapuk
ABSTRACT. The purpose of this research was to examine
the effectiveness of 7 isolates of wood rot fungi in the decomposition of waste
cocoa pods in vitro, that can be used
as compost. Waste cocoa pods and lime mixed with rice bran in the ratio 5: 1:
0.05 and then filled into baglog and sterilized. After inoculation, baglog was incubated
at room temperature. Observations included the growth rate of rot fungi
visually with interval of 3 days and the percentage content of lignin, cellulose,
and hemicellulose in 30 days after inoculation. The results showed that the
highest percentage in reduction among the three components, namely
hemicellulose (61.69%) with JM isolates, followed by cellulose component (31.07%)
by MKS isolate. Decreasing of lignin content in general was still very low. The
highest reduction (10.73%) was observed in treatment with B isolate.
Keywords: cocoa pods, decomposition, rot fungi.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga saat ini. Tahun
2009 produksi biji kakao mencapai 480.000 ton. Produsen terbesar kakao di dunia
ditempati Pantai Gading dengan produksi sebesar 1.300.000 ton sementara Ghana
sebanyak 750.000 ton. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar
92,7% dari luas seluruh perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang
mencapai 1.592.982 ha (Asnil, 2009).
Pesatnya
perkembangan perkebunan kakao di Indonesia juga diikuti oleh beberapa
permasalahan, di antaranya meningkatnya limbah yang dihasilkan sebagai akibat
meningkatnya produksi kakao (Susanto, 1994). Menurut Haryati dan Hardjosuwito
(1984), buah kakao mengandung 74% kulit buah, 2,0% plasenta, dan 24,2% biji.
Mengingat besarnya kandungan kulit buah kakao, maka perlu diusahakan
pemanfaatannya.
Kulit buah kakao merupakan salah satu
hasil samping kakao yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Kulit buah kakao
umumnya langsung dibuang sebagai limbah, padahal kulit buah kakao ini dapat
diolah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Beberapa penelitian tentang
pemanfaatkan kulit buah kakao antara lain sebagai pakan ternak (Supadiyo,
1980), pembuatan tepung (Supriyanto, 1989; Muttaqin, 1996), dan pembuatan
ekstrak pektin (Endah, 1990). Selain itu, kulit buah kakao kaya akan nutrisi
dan dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai kompos.
Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai
kompos akan meningkatkan ketersediaan pupuk organik
yang akan sangat membantu kebutuhan pupuk petani sehingga ketergantungan
terhadap pupuk kimia dapat dikurangi karena sulit diperoleh. Selain itu, mengurangi
pencemaran lingkungan akibat pembuangan kulit buah kakao yang kurang baik.
Penggunan kulit buah kakao sebagai mulsa yang disebarkan disekeliling tanaman
dapat menjadi tempat tumbuh cendawan yang
dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah, hawar daun dan kanker batang
tanaman kakao sehingga dapat menurunkan produksi tanaman tersebut (Tequaia et al. 2004).
Namun, pemanfaatan limbah kulit buah
kakao ini mempunyai faktor pembatas seperti kualitas nutrisi yang rendah akibat
kandungan serat kasar yang tinggi (40,03%), adanya kandungan alkaloid
theobromin (0,17%-0,22%), dan protein (22%) (Laconi, 1998). Menurut Ammirroenas
(1990), serat kasar pada kulit buah kakao terdiri dari selulosa 36,23%,
hemiselulosa 1,14%, dan lignin 20%-27,95%. Sedangkan menurut Laconi (1998)
kandungan lignin pada kulit buah kakao lebih besar dibandingkan selulosa yakni
sekitar 38,78%.
Ada beberapa pengolahan yang dapat
dilakukan untuk menurunkan kandungan serat kasar pada kulit buah kakao (Preston
and Leng, 1987). Salah satu teknik pengolahannya secara biologis dengan
memanfaatkan organisme yang mampu menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel
seperti selulase, hemiselulase, dan enzim pemecah lignin. Beberapa kelompok
organisme dilaporkan mampu mendegradasi senyawa lignin, selulosa, dan
hemiselulosa adalah jamur. Jamur merupakan organisme lignoselulolitik yang
memiliki kemampuan besar dalam mendekomposisi lignin, selulosa, dan
hemiselulosa. Di alam terdapat tiga kelompok jamur yang dapat
menguraikan komponen kayu (lignoselulosa) yaitu jamur pelapuk coklat (brown rot), jamur pelapuk putih (white rot) dan jamur pelapuk lunak (soft rot) (Tillman et al. 1989).
Berdasarkan pertimbangan bahwa jamur
pelapuk kayu merupakan pendekomposisi yang paling aktif, maka penting dilakukan
seleksi untuk memperoleh jamur pelapuk kayu isolat Makassar terbaik dalam
dekomposisi limbah kulit buah kakao dan produk akhirnya dapat menghasilkan
pupuk untuk memperbaiki ketersediaan pupuk organik/ kompos.
METODE
PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Alat-alat
yang digunakan adalah autoklaf, oven, cawan petri, tabung erlemeyer, bunsen,
batang pengaduk, gelas ukur, gelas piala, ose lurus, jarum preparat, pisau
skalpel, botol selai, ember, gunting, kamera, hand sprayer, timbangan, enkas,
dan LAF (Laminary Air Flow).
Bahan
yang digunakan adalah isolat jamur pelapuk kayu, kulit kakao, alkohol 70%,
aquadest, media Potato Dekstrosa agar (PDA), tissue, kapas, plastik parafilm, pipa paralon dengan diameter 3 cm, karet gelang,
kertas label, spiritus, kapas, chloramphenicol 500 mg, dedak, kapur pertanian, aluminium foil, dan plastik
polipropilena (PP).
B. Prosedur Kerja
Sterilisasi Alat
Semua
alat yang digunakan dalam penelitian ini harus dalam keadaan steril dan bebas
dari segala bentuk kehidupan terutama mikroorganisme. Untuk alat yang terbuat
dari bahan gelas dicuci menggunakan sabun dan dibilas dengan air lalu
dikering-anginkan, kemudian disterilkan dengan menggunakan oven pada suhu 180°C
selama 2 jam. Sedangkan alat-alat non gelas yang tidak tahan panas, dicuci dan
dikering-anginkan lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C
dengan tekanan 2 atm selama 15-30 menit. Alat-alat yang terbuat dari logam
seperti ose lurus, jarum preparat, dan pisau skalpel disterilkan dengan cara
dibilas dengan alkohol lalu dipanaskan di atas nyala api bunsen hingga pijar.
Alat lain yaitu enkas disterilkan dengan menyemprotkan alkohol 70% pada seluruh
bagian dalam enkas, lalu diberikan pemanasan dengan menyalakan api bunsen
kemudian segera pintu enkas ditutup dan dibiarkan selama 30 menit sebelum
digunakan.
Pembuatan Medium
Potato Dekstrosa Agar (PDA)
Pembuatan media PDA digunakan kentang 200
gram, agar 20 gram, dekstrosa 15 gram
dan aquadest. Pada tahap pertama kentang yang telah dipotong-potong kecil
direbus dengan aquadest sebanyak 1 liter sampai mendidih. Kemudian air rebusan
kentang disaring dan diambil sari dan airnya lalu diukur volumenya dalam gelas
ukur. Tambahkan aquades steril untuk mencukupkan volume hingga 1 liter sebagai
pengganti volume air yang hilang saat pemanasan. Kemudian ditambahkan agar dan
dekstrosa lalu dipanaskan di atas penangas hingga homogen. Kemudian erlenmeyer
ditutup dengan kapas dan aluminium foil, selanjutnya medium siap untuk
disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 2 atm.
Peremajaan
Isolat jamur yang digunakan pada penelitian ini
merupakan isolat jamur pelapuk kayu di sekitar Makassar yang di beri nama
dengan kode isolat MKS, JM, KSB, KSH, isolat B, C, dan E. Isolat jamur ini
telah tersedia dan merupakan koleksi dari Laboratorium Bioteknologi Pusat
Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin Makassar.
Peremajaan mikrobia pada prosedur ini
dilakukan dengan cara yang
dikembangkan oleh Isnaini dkk (2006). Isolat jamur yang ada dipotong dengan ukuran 1 cm x 1
cm lalu dipindahkan ke cawan petri yang berisi medium Potato Dekstrosa Agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu
kamar selama 5 hari.
Pembuatan Substrat Bahan Organik
Sebagai Media Tumbuh Isolat Jamur
Pembuatan
substrat bahan organik ini menggunakan kulit buah kakao, dedak, dan kapur pertanian
dengan perbandingan 5:1:0,05. Pertama-tama kulit buah kakao sebanyak 12 kg dicuci
bersih lalu dihancurkan menjadi bagian yang lebih kecil dengan cara digiling,
selanjutnya dicampurkan dengan dedak sebanyak 2,4 kg dan kapur sebanyak 120 gr,
dicampur rata dengan ditambahkan air sampai merata. Kemudian dimasukkan ke
dalam plastik tahan panas (plastik polipropilena) sebanyak 500 gram. Pada plastik polipropilena dibuatkan mulut plastik
dari pipa paralon dengan diameter 3 cm lalu ditutup dengan kapas penyumbat yang
telah dibungkus dengan aluminium foil kemudian diautoklaf selama 7 jam.
Seleksi Jamur
Lignolitik
- Inokulasi Isolat Jamur Pada Substrat Bahan Organik
Media yang berisi isolat jamur dalam
cawan petri dipotong-potong kecil dengan ukuran 1 cm x 1 cm kemudian sebanyak 5 potongan isolat
jamur tersebut dimasukkan ke dalam plastik yang berisi substrat bahan organik
yang telah disterilkan, lalu diaduk-aduk agar dapat tercampur merata. Isolat
jamur yang digunakan pada substrat bahan organik ini sebanyak 7 isolat jamur
pelapuk. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar dan dilakukan pengamatan
pertumbuhan koloni jamur pelapuk setiap selang waktu tiga hari sekali selama
satu bulan (30 hari).
- Analisa Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa
Sebelum dan setelah fermentasi dilakukan
penimbangan bobot limbah dan pengamatan terhadap tekstur produk fermentasi
serta analisis kandungan serat kasar (CF). Untuk menentukan kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa terlebih dahulu
ditentukan kadar Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral Detergent Fiber (NDF)
dengan menggunakan metode Van Soest.
a.
Penentuan
Kadar Acid Detergent Fiber (ADF)
Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) dimasukkan ke dalam gelas piala
kemudian dtambahkan 50 ml larutan ADS dan 2 ml decalin. Dipanaskan
selama 1 jam diatas penangas air. Kemudian dilakukan penyaringan dengan bantuan
pompa vakum, juga dengan menggunakan penyaring kaca masir yang sudah di timbang
sebagai b gram, Pencucian di lakukan
dengan menggunakan hexan, acetone dan
air panas. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan memasukkan hasil penyaringan tersebut dalam oven,
setelah dimasukkan lagi di dalam desikator untuk melakukan pendinginan dan
ditimbang sebagai c gram.
b.
Penentuan
Neutral Detergent Fiber (NDF)
Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) di masukkan ke dalam gelas
piala berukuran 500 ml, serta di tambahkan dengan 50 ml larutan NDS dan 0,5
gram Na2SO3 lalu dipanaskan selama 1 jam. Menimbang kaca masir sebagai b gram. Kemudian melakukan penyaringan
dengan bantuan pompa vakum dibilas dengan air panas dan acetone. Hasil
penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105°C setelah itu dimasukkan lagi
dalam eksikator selama 1 jam, kemudian dilakukan penimbangan akhir sebagai c gram.
Keterangan:
a : berat sampel
b : berat kaca masir
Untuk
memisahkan selulosa dari lignin, ADF ditambahi H2SO4
dingin, sehingga selulosanya akan larut. Selanjutnya residu yang tertinggal
dicuci dengan air hangat (85-95oC) sampai bebas dari asam. Lalu
dikeringkan, dengan menggunakan oven 105°C dan selanjutnya dilakukan
pendinginan dengan desikator lalu
ditimbang sebagai berat akhir (e gram). Selisih bobot antara ADF dengan residu
tersebut adalah selulosa.
Setelah
residu ditimbang, lalu dibakar pada suhu 500oC kemudian didinginkan
dalam desikator serta disimpan kembali sebagai berat akhir (f gram). Abu
sisanya setelah dingin ditimbang dan selisih antara residu dengan abu adalah
lignin.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan pengamatan secara deskriptif dimana melihat pertumbuhan
koloni jamur yang memenuhi baglog. Isolat jamur
yang paling cepat tumbuh dan memenuhi baglog yaitu isolat yang mempunyai
kemampuan dalam memanfaatkan kulit kakao sebagai sumber makanannya. Untuk
mengetahui lebih detail mengenai penurunan kandungan selulosa, hemiselulosa,
dan lignin pada kulit buah kakao maka substrat kulit buah kakao akan di
analisis pada Laboratorium Kimia dan Makanan, Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Pertumbuhan Isolat Jamur
Pelapuk pada Media Kulit Buah Kakao
Sebanyak tujuh jamur pelapuk isolat Makassar diberi nama dengan kode MKS, JM, KSH, KSB,
isolat B, C, dan isolat E. Parameter pengamatan meliputi pertumbuhan hifa
secara visual dan kandungan lignoselulolitik yang diamati pada akhir minggu ke
4.
Berdasarkan hasil skrining dari beberapa
isolat jamur yang ada, ketujuh isolat jamur pelapuk ini merupakan isolat jamur
yang memiliki kemampuan menguraikan kandungan lignoselulolitik. Dari tujuh isolat
jamur pelapuk yang diuji pada media kulit buah kakao selama 3 hari sampai 30
hari, masing-masing memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda-beda.
Pengamatan
pada hari ke-3 menunjukan adanya beberapa isolat yang sudah mengalami
pertumbuhan diantaranya isolat MKS, JM, dan KSH. Sedangkan isolat jamur KSB, isolat B, isolat
C, dan isolat E belum menunjukan adanya pertumbuhan koloni yang terbentuk.
Setelah
30 hari pengamatan semua isolat jamur pelapuk penyebarannya sudah terlihat
jelas pada substrat kulit buah kakao, tetapi isolat yang pertumbuhannya sangat
bagus hingga pengamatan terakhir yaitu isolat JM, MKS, KSB, dan isolat E.
Kemampuan
pertumbuhan masing-masing isolat jamur pelapuk dalam baglog berbeda-beda, ada
isolat yang pertumbuhannya cepat dan ada juga isolat jamur yang pertumbuhannya
lambat hingga pengamatan terakhir. Berikut tabel parameter pengamatan awal dan
akhir dari ketujuh isolat jamur pelapuk.
Parameter
pengamatan setelah 3 hari inokulasi menunjukan adanya pertumbuhan miselium dari
isolat jamur MKS, JM, dan KSH pada bagian atas baglog walaupun miselium yang
terbentuk hanya sedikit sedangkan isolat lainnya belum menunjukan adanya
pertumbuhan miselium. Miselium dari isolat jamur MKS dan JM berwarna putih
sedangkan miselium dari isolat KSH berwarna agak kehijauan.
Pertumbuhan
miselium dari isolat jamur KSB, isolat B, C, dan E terlihat pada pengamatan kedua
yaitu setelah 6 hari inokulasi, dengan pertumbuhan yang dimulai dari bagian
atas baglog. Adapun miselium dari isolat jamur KSB, isolat B, C, dan E berwarna
putih kecoklatan.
Parameter
pengamatan setelah 30 hari memperlihatkan pertumbuhan miselium yang bagus dari
isolat MKS, JM, KSB, isolat C, dan isolat E. Hal ini ditandai dengan adanya
pertumbuhan miselium yang hampir menutupi seluruh bagian baglog. Sedangkan
isolat B dan KSH menunjukan pertumbuhan miselium yang hanya setengah menutupi
baglog. Miselium dari isolat jamur MKS, KSH, KSB, isolat B, C, dan E berwarna
putih kecoklatan, dan miselium dari isolat JM berwarna putih pada baglog.
Isolat
B dari awal sampai pengamatan terakhir belum memperlihatkan pertumbuhan yang
maksimal seperti isolat lainnya, pertumbuhannya masih lambat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya suhu, kelembaban ruangan, dan intensitas cahaya.
Suhu pertumbuhan jamur pada saat inkubasi lebih tinggi dibanding pada saat
pembentukan tubuh buah. Suhu inkubasi jamur berkisar antara 22-28oC
dengan kelembaban 60-80%, sedangkan suhu pada saat pembentukan tubuh buah
berkisar antara 16-22oC dengan kelembaban 80-90%. Selain suhu dan
kelembaban, faktor cahaya dan sirkulasi udara perlu diperhatikan. Intensitas
cahaya yang diperlukan pada saat pertumbuhan sekitar 10%. (Yuniasmara et al.
2004).
Analisis Kandungan Selulosa, Hemiselulosa, dan
Lignin
Pada analisis kandungan
selulosa, hemiselulosa, dan lignin, terlebih dahulu ditentukan kandungan NDF
dan ADF dari substrat kulit buah kakao setelah 30 hari diinokulasikan jamur
pelapuk.
Analisis kandungan pada kulit
buah kakao terlihat bahwa tiap isolat jamur yang diujikan memiliki kemampuan mendekomposisi
yang berbeda-beda. Kandungan
kulit buah kakao (kontrol) sebelum diinokulasikan beberapa isolat jamur pelapuk
memiliki kandungan serat kasar yang terdiri dari 14,77% selulosa, 15,43%
hemiselulosa, dan 57,2% lignin.
Tabel 3 di atas menunjukan beberapa isolat jamur pelapuk
umumnya memiliki kemampuan untuk mendekomposisi hemiselulosa dan selulosa,
sedangkan kandungan lignin pada kulit buah kakao hanya mengalami sedikit
penurunan. Persentase penurunan kandungan hemiselulosa
tertinggi mencapai 61,69% dengan kemampuan dekomposisi dari isolat JM sedangkan
isolat B memiliki kemampuan dekomposisi dengan persentase penurunan terendah
yang hanya mencapai 6,61%. Pada komponen selulosa, persentase penurunan tertinggi
terdapat pada kemampuan dekomposisi isolat MKS sebesar 31,07% dan terendah pada
isolat E yang kemampuan dekomposisinya hanya mencapai penurunan sebesar 1,96%.
Penurunan kandungan lignin setelah inokulasi selama 30 hari, secara umum
penurunannya masih sangat rendah pada semua perlakuan isolat jamur pelapuk,
penurunan tertinggi hanya mencapai 10,73% dengan kemampuan dekomposisi dari
isolat B diikuti oleh kemampuan isolat JM sebesar 10,31.
Pada penelitian ini menunjukan kemampuan dari isolat
JM dalam mendekomposisi hemiselulosa dengan penurunan tertinggi, dimana hal ini
memperlihatkan pertumbuhan yang sejalan dengan pengamatan miselium pada baglog.
Begitu pun penurunan tertinggi pada kandungan selulosa yang dicapai oleh
kemampuan dekomposisi dari isolat MKS, menunjukan pertumbuhan yang sejalan dengan
pengamatan miselium. Tetapi berbeda dengan lignin, kemampuan dari isolat B
dalam mendekomposisi lignin tidak menunjukan pertumbuhan yang sejalan dengan
pengamatan miselium pada baglog. Pertumbuhan miselium pada isolat B sangat
lambat, hanya memiliki pertumbuhan di bagian permukaan dan sedikit di dasar
baglog. Selain itu, kemampuan isolat B mendekomposisi lignin dengan penurunan
tertinggi diantara isolat lainnya tidak mengalami penurunan yang begitu
signifikan.
Gambar 4. Persentase Penurunan Kandungan Hemiselulosa, Selulosa, dan Lignin
pada Kulit Buah Kakao
Berdasarkan Gambar 4, komponen hemiselulosa mengalami penurunan
paling besar pada tiap perlakuan isolat jamur pelapuk dibanding dengan komponen
selulosa dan lignin. Penurunan terbesar kedua diikuti oleh selulosa, sedangkan
lignin belum memperlihatkan penurunan yang signifikan hingga pada akhir
pengamatan.
Penurunan komponen hemiselulosa paling
besar dikarenakan hemiselulosa mengalami reaksi oksidasi dan degradasi terlebih
dahulu dibandingkan selulosa dan lignin. Hal ini disebabkan hemiselulosa
memiliki rantai lebih pendek dan bercabang dibanding selulosa yang memiliki
rantai panjang (Fengel dan Wenger, 1995).
Selain itu, menurut Perez dkk (2002) hemiselulosa mempunyai berat
molekul rendah yang terdiri dari D-xilosa, D-mannosa, D-galaktosa, D-glukosa,
L-arabinosa, 4-0-metil glukoronat, D-galakturonat dan asam D-glukoronat
sehingga mudah terdegradasi.
Hemiselulosa merupakan salah satu
penyusun dinding sel tumbuhan yang terdiri dari kumpulan beberapa unit gula/
heteropolisakarida dan dikelompokkan berdasarkan residu gula utama sebagai
penyusunnya seperti xilan, mannan, galactan dan glucan (Fengel dan Wegener,
1995).
Pada penelitian ini, selulosa menempati
urutan kedua setelah hemiselulosa didegradasi oleh isolat jamur pelapuk.
Umumnya selulosa mempunyai sifat fisik yang lebih kuat, lebih tahan lama
terhadap degradasi yang disebabkan oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun
pengaruh biologis. Pada tanaman, selulosa dilapisi oleh polimer yang sebagian
besar terdiri dari xilan dan lignin. Xilan dapat didegradasi oleh xilanase,
akan tetapi lignin sangat sulit terdegradasi. Jika xilan dan lignin
dihilangkan, maka selulosa dapat didegradasi oleh selulase dari bakteri atau
kapang selulolitik untuk menghasilkan selobiosa dan glukosa (Bayer et al. 1994).
Penguraian kandungan lignin oleh beberapa isolat jamur
pelapuk merupakan penurunan yang paling rendah diantara hemiselulosa dan
selulosa. Hal ini dikarenakan lignin bersifat rekalsitran yaitu tidak mudah
terurai. Struktur lignin yang kompleks berikatan dengan selulosa
dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman mengakibatkan lignin sulit untuk
terurai. Oleh karena itu, penguraian lignin membutuhkan enzim yang khusus karena
lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul yang tinggi (Orth et al. 1993).
Biodegradasi lignin adalah kemampuan
yang unik yang dimiliki oleh beberapa jenis jamur yang mampu menghasilkan enzim
lignolitik. Lignin diuraikan oleh enzim dengan proses oksidatif sedangkan
selulosa dan hemiselulosa diuraikan enzim dengan proses hidrolitik. Pemisahan
secara oksidatif antara karbon dengan karbon dan antara ikatan eter dengan
ikatan eter lainnya termasuk unit-unit fenilpropan dilakukan oleh enzim
peroksidase. Untuk kelangsungan reaksi enzimatik diperlukan sumberdaya
ekstraseluler H2O2 (Zabel dan Morel, 1992).
Lignin berbeda
dari selulosa dan hemiselulosa karena lebih tahan terhadap biodegradasi. Dalam
pendegradasian selulosa akan diubah menjadi rantai-rantai linear dan unit-unit
disakarida (selobiosa) oleh enzim selulase, lalu selobiosa dihidrolisis menjadi
glukosa oleh enzim selulase. Degradasi lignin oleh jamur pelapuk terjadi paling
akhir (Moore-Landecker, 1990).
Jamur
pelapuk mendepolimerisasi oksidatif lignin dengan mensekresi beberapa enzim,
seperti lignin peroxidase, manganese peroxidase, dan lakase (Acunzo et al. 2002). Lignin peroxidase dan
manganese peroxidase mengoksidasi komponen utama dari polimer lignin yaitu
senyawa aromatik non fenolik dengan potensial reduksi oksidasi yang tinggi.
Sedangkan lakase mengoksidasi struktur lignin fenolik yang merupakan kandungan
minor dari polimer lignin (Srebotnik et
al. 2003).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka
dapat disimpulkan pada kulit buah kakao isolat jamur JM memiliki kemampuan
mendegradasi komponen hemiselulosa terbaik dengan penurunan tertinggi mencapai
61,69%, sedangkan untuk komponen selulosa paling banyak didekomposisi oleh
isolat MKS dengan penurunan tertinggi mencapai 31,07%. Isolat B memiliki
kemampuan yang lebih baik dibandingkan isolat lainnya dalam dekomposisi lignin
dengan penurunan mencapai 10,73%. Isolat jamur pelapuk yang paling cepat pertumbuhannya
memenuhi bahan organik pada substrat kulit kakao dalam baglog adalah isolat JM
dan MKS.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis isolat jamur
pelapuk kayu yang mampu mendekomposisi ketiga komponen substrat organik tersebut
serta rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui masa dekomposisi bahan
organik yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Amirroenas, D. E., 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet Dengan Bahan
Serat Biomassa POD Coklat Untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan. Tesis
Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bayer, E.A., E.
Morag, dan R. Lamed, 1994. The Cellulosome- A Treasure-Trove for
Biotechnology. TIBTECH 12, 379-386.
Endah, C.N., 1990. Optimasi
Ekstraksi Pektin Kulit Buah Kakao. Skripsi FTP UGM. Yogyakarta.
Fengel, D., dan G. Wegener, 1995.
Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
(Terjemahan). Gadjah Mada Univ Press. Yogyakarta.
Harjosuwito
dan Tri Haryati, 1984. Pemanfaatan Limbah
Hasil Perkebunan Coklat Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Pektin. Menara
Perkebunan 52, G: 213-216.
Isnaini, M., Rohyadi A., dan
Murdan, 2004. Identifikasi dan Uji
Patogenisitas Jamur-Jamur Penyebab Penyakit Busuk Batang Tanaman Vanili Di
Lombok Timur. Laporan Penelitian-Pusat Penelitian Universitas Mataram.
Laconi, E.B., 1998. Peningkatan Mutu pod Kakao Melalui Amoniasi
dengan Urea dan Biofermentasi dengan Phanerochaete chriysosporium dan
Penjabarannya ke dalam Ransum Ruminansia. Program Pasca Sarjana Institute
Pertanian Bogor. Bogor.
Moore-Landecker, E., 1990. Fundamentals of The Fungi. Fourth
Edition Prentice.
Muttaqin, I.,
1996. Tepung Kulit Buah Kakao sebagai Campuran Pembuatan Roti Tawar.
Skripsi FTP UGM. Yogyakarta.
Perez, J., J.M.
Dorado, T. Rubia, dan J. Martinez, 2002. Biodegradation and Biological
treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: An Overview. Int.
Microbiol. 5, 53-63.
Preston, T.R. dan R.A. Leng,
1987. Matching Ruminant Production System
with Available Resources in The Tropics and Subtropics. Penambul Books
Armidale. Australia.
Srebotnik, E., K.A. Jensen dan
K.E. Hammel, 1998. Cleavage of
Nonphenolic Lignin Structure by Laccase in The Presence of 1-
Hydroxibenzotriazole. Proc Natl Acad Sci 91:12794-12797.
Srebotnik E., K.A. Jensen dan
K.E. Hammel, 1994. Fungal Degradation Of
Recalcitrant Nonphenolic Lignin Structure Without Lignin Peroxidase. Proc
Natl Acad Sci 91:12794-12797.
Suparjo,
2010. Analisis Bahan Pangan Secara
Kimiawi, Analisis Proksimat dan Analisis
Serat. Laboratorium Makanan Ternak
Fakultas Peternakan. Universitas
Jambi.
Supriyanto,
1989. Karakterisasi Tepung Kulit Buah Kakao. Laporan Penelitian FTP UGM.
Yogyakarta.
Susanto,
F.X., 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan
Pengolahan Hasil. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tequia, A., Endeley HNL. dan
Beynen A.C., 2004. Broiler performance
upun dietary substitution of cocoa husks for maize. Int J Poul Sci
3 (12) : 799-782.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S.
Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.