MAKALAH
MIKROBIOLOGI LAUT
POTENSI BAKTERI SIMBION LUMINISENS Photobacterium phosphoreum SEBAGAI PRODUSEN
ANTIBIOTIK ALAM
BAB I
PENDAHULUAN
Bakteri laut adalah salah satu mikroorganisme yang mampu menjaga
kesinambungan kehidupan di laut karena kemampuannya mendegradasi senyawa
organik mulai dari yang sederhana hingga kompleks, yang masuk ke perairan laut.
Bakteri laut selain berperan sebagai biodegradasi, bioremediasi, biosel,
dan peranan lainnya, bakteri juga dapat melakukan bioluminisensi. Bioluminisensi diartikan sebagai produksi cahaya
oleh organisme hidup (Nybakken, 1992). Pemancaran cahaya yang dilakukan sangat
menguntungkan organisme tersebut karena berguna untuk mencari makan,
menghindari musuh, mengenali spesiesnya atau untuk komunikasi, serta untuk
aktivitas kamuflase (Papilaya dan Ngili, 2004). Bioluminisensi merupakan sumber
cahaya yang penting di ekosistem laut dalam. Salah satu keunikan bioluminisensi
adalah cahaya yang dipendarkan pada proses ini dihasilkan dari radiasi panas
yang sangat rendah.
Salah satu contoh bakteri yang dapat melakukan bioluminisensi
adalah bakteri Photobacterium phosphoreum, dimana dari dikatakan bakteri simbion karena bakteri
ini hidup berasosiasi dengan biota lain (inang) dan melakukan berbagai macam
pola hubungan sesuai dengan karakteristik dasar interaksinya. Berbagai hasil penelitian dilaporkan
bahwa bakteri Photobacterium phosphoreum mampu bersimbiosis pada organ
cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli.
BAB II
ISI
Salah satu penyebab terjadinya peristiwa
bioluminesensi pada beberapa hewan laut adalah karena adanya bakteri yang
bersimbiosis pada organ cahayanya. Hasil penelitian pendahuluan yang sudah
dilakukan membuktikan bahwa cumi jenis Loligo duvauceli mempunyai
organ cahaya yang menempel pada kantong tintanya dan pada organ tersebut
mengandung banyak bakteri. Peristiwa bioluminesensi pada hewan cumi dan
cumi-cumi merupakan salah satu hasil interaksi antara bakteri dan organ cahaya
yang dimilikinya. Informasi tentang interaksi antara kehidupan bersama dua
organisme yang berbeda (simbiosis) belum banyak diungkapkan. Identifikasi
bakteri luminesen dari inang organ cahaya cumi merupakan masalah dasar yang
harus diketahui untuk penentuan karakteristik dari bakteri tersebut. Bakteri simbion
merupakan komunitas bakteri yang hidup berasosiasi dengan biota lain (inang)
dan melakukan berbagai macam pola hubungan sesuai dengan karakteristik dasar
interaksinya. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya interaksi spesifik
antara simbion dan inang, termasuk transfer prekusor nutrient yang memberi
peluang adanya kesamaan potensi produk metabolit sekunder di antara keduanya.
Bakteri Photobacterium phosphoreum merupakan
bakteri yang bersimbiosis pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli. Cahaya tersebut disebabkan aadanya hubungan
simbiosis antara cumi dan bakteri yang hidup di dalam tubuhnya. Bakteri
tersebut merupakan jenis Photobacterium
Phospereum yang hidup di dalam tubuh cumi jenis Loligo duvaucelli.
Karakteristik
bakteri hasil identifikasi sampai tahap ini adalah,
bakteri tidak tumbuh pada media TCBSA, tergolong ke dalam kelompok bakteri gram
negative, berbentuk batang ‘bacilus’, tidak berflagela dan memancarkan cahaya. Bakteri dapat memancarkan cahaya pada
konsentrasi 4,6. 109 CFU/ml dengan diameter koloni bakteri pada 0,075 cm,
sedangkan pada konsentrasi lebih rendah yaitu 2,0. 104 dengan diameter koloni
bakteri 0,025 cm memperlihatkan bakteri luminisensi tidak memancarkan cahaya.
Banyak bakteri yang dapat menghasilkan
bioluminesensi, umumnya diketahui kemudian bahwa seluruh bakteri tersebut
tergolong ke dalam bakteri gram negatif, motil, memiliki morfologi batang, dan bersifat aerob atau anaerob
fakultatif. Bakteri-bakteri itu tersebar di daerah
lautan, perairan tawar, dan tanah (terestrial). Contoh bakteri
penghasil bioluminesensi yang telah diteliti adalah genus Vibrio (V. harveyi, V.
fischeri, V. cholera), Photobacterium (P. phosphoreum, P. leiognathi), Xenorhabdus (X. luminescens), Alteromonas (A. haneda), dan Shewanella. [2] Sementara itu, hanya
sedikit cendawan yang diketahui dapat
menghasilkan bioluminesensi, di antaranya adalah Armillaria
mellea, Panellus
Stipticus, Omphalotus nidiformis, dan Mycena spp.
Bakteri Photobacterium
phosphoreum dilaporkan memiliki aktivitas bioluminisensi (Pringgenies dan
Jorgensen, 1994; Papilaya dan Ngili, 2004). Bioluminisensi diartikan sebagai
produksi cahaya oleh organisme hidup (Nybakken, 1992). Pemancaran cahaya yang
dilakukan sangat menguntungkan organisme tersebut karena berguna untuk mencari
makan, menghindari musuh, mengenali spesiesnya atau untuk komunikasi, serta
untuk aktivitas kamuflase (Papilaya dan Ngili, 2004).
Bioluminisensi merupakan sumber cahaya yang penting di ekosistem laut dalam. Salah satu keunikan bioluminisensi adalah cahaya yang dipendarkan pada proses ini dihasilkan dari radiasi panas yang sangat rendah .Bakteri Photobacterium phosphoreum memancarkan cahaya yang memungkinkan terlihat dengan kasat mata karena berada di sekitar panjang gelombang 460-490 nm (visible spectrum) (Papilaya dan Ngili, 2004). Di bawah ini adalah contoh gambar Photobacterium phosphoreum yang menghasilkan cahaya biru.
Bioluminisensi merupakan sumber cahaya yang penting di ekosistem laut dalam. Salah satu keunikan bioluminisensi adalah cahaya yang dipendarkan pada proses ini dihasilkan dari radiasi panas yang sangat rendah .Bakteri Photobacterium phosphoreum memancarkan cahaya yang memungkinkan terlihat dengan kasat mata karena berada di sekitar panjang gelombang 460-490 nm (visible spectrum) (Papilaya dan Ngili, 2004). Di bawah ini adalah contoh gambar Photobacterium phosphoreum yang menghasilkan cahaya biru.
Di perairan Indonesia, terdapat hewan cumi jenis
komersial yang dapat memancarkan cahaya. Cahaya tersebut disebabkan adanya
hubungan simbiosis antara cumi dan bakteri yang hidup di dalam tubuhnya.
bakteri tersebut merupakan jenis Photobacterium
phospereum yang hiudp di dalam tubuh cumi jenis Loligo duvaucelli.
Dimana enzim Luciferase tersebut dapat
memancarkan cahaya pada bakteri luminisensinya karena sifat dari enzim ini
dapat mengkatalis tiga substrat yaitu flavin mononukleotida tereduksi (FMNH2),
molekul oksigen(O2) dan aldehyde rantai panjang (RCOH). Reaksi
tersebut membbaskan flavin (FMN), asam lemak rantai panjang (RCOOH) , molekul
air (H2O) sambil memancarkan cahaya tampak (hv).
Fenomena bioluminisensi pada bakteri Photobacterium phophoreum ini dikaji
dikarenakan sebagai contoh nanofabrikasi fotonik alamiah yang akan menjadi
inspirasi penelitian peralatan optic dan spektroskopik di masa akan datang,
untuk monitoring konsentrasi racun di alam dan alat uji yang bioluminisensi
yang memakai enzim merupakan pendekatan baru dalam monitoring lingkungan.
Selain itu ketersedian bahan baku yang sangnt melimpah di perairan Indonesia
juga menjadi alasan untuk melakukan isolasi, identifikasi dan karakterisik
sifat-sifat fisika dari bahan aktif penyebab pemancaran cahaya pada bakteri Photobacterium Phosphoreum tersebut.
Pemancaran
cahaya pada bakteri luminisensi dikatalis oleh enzim yang dinamai
luciferase. Luciferase ini bekerja mereduksi flavin mononukleotida bentuk tereduksi
(FMNH2) sebagai substrat untuk menghasilkan cahaya tampak (Fisher et.al,
1996).
Pada saat
ini telah dilakukan kajian tentang karakteristik pemancaran cahaya dari Luciferase
bakteri Photobacterium phosphoreum (LBPP) ini berupa jumlah
foton yang dipancarkan persatuan waktu, panjang gelombang, dan pengaruh
temperatur, pH, konsentrasi oksigen, dan polutan terhadap intensitas pemancaran
cahaya. Walaupun hasilnya telah dapat menjelaskan pola-pola aktivitasnya
secara lengkap, tapi belum dapat menjelaskan mekanisme pemancaran cahaya dari
bakteri karena diperlukan data struktur dari LBPP dan sisi aktifnya yang
merupakan pusat aktivitas dari luciferase .
Photobacterium
Phospereum
merupakan bakteri yang dapat memancarkan cahaya paling terang dari semua
bakteri luminesens (bakteri yang dapat memancarakan cahaya). Pemanfaatan
bakteri ini di pakai dalam aplikasi bioteknologi, seperti biosensor dan
pembuatan film tipis. bakteri ini juga digunakan dalam pengujian lingkungan,
yaitu untuk mendeteksi bahan-bahan kimia beracun dalam penentuan kualitas air.
Dalam bidang kedokteran, bakteri ini digunakan untuk menentukan jumlah ikatan
albumin (protein darah) dan mendiagnosis penyakit gigi.
Adapun keuntungan bagi makhluk hidup yang mampu bioluminesensi adalah :
1. Pertahanan
Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan
luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda. Sebagian makhluk hidup
memanfaatkannya untuk pertahanan diri,
seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi yang berpendar
untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan
kepadanya untuk melarikan diri dari predator. Beberapa
jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan
menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase dalam
menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut dengan
penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu makhluk hidup
tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di lingkungan perairan.
Pada spesies bintang
ular laut, cacing
laut, dan organisme bioluminesensi di
daratan, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang disebut aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa
makhluk tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator akan
menghindarinya.
Pendaran pada larva kunang-kunang juga merupakan salah satu bentuk aposematisme yang melindunginya
dari predator karena akan dikenali sebagai makanan yang tidak enak atau tidak
menguntungkan.
Beberapa organisme di laut takut
untuk memakan zooplankton karena sebagian besar zooplankton memiliki pendaran yang
tetap dapat terlihat saat mereka berada di dalam perut pemangsanya. Akibatnya
organisme yang memakan zooplankton tampak berpendar dan ini membuatnya mudah dikenali dan
diburu oleh predator yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini terlihat pada
peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan udang
misid. Udang tersebut akan tampak
berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat dinoflagelata berpendar
sehingga ikan Porichthys
notatus dapat lebih mudah memburu dan
memakan udang itu.
2. Predasi
Selain sebagai mekanisme
pertahanan, bioluminesensi pada makhluk hidup juga banyak dimanfaatkan untuk
memburu mangsa (predasi), di antaranya adalah ikan
angel dan hiu Isistius
brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa mendekat.
3. Sinyal kawin
Cumi-cumi jantan pada saat ingin
kopulasi (perkawianan) dengan cumi-cumi betina, cumi-cumi jantan berkamuflase
untuk menarik perhatian cumi-cumi betina.
BAB III
PENUTUP
Reaksi
bioluminisensi terjadi akibat enzim Luciferase pada bakteri Photobacterium
Phosphoreum yang diisolasi dari cumi-cumi Jepara Indonesia mengikat
substrat-substratnya yaitu FMNH2, O2, dan RCOH. Enzim Luciferase
pada bakteri Photobacterium Phosphoreum terdiri dari dua sub unit
α dan β dengan berat molekul 41 kD dan 38 kD.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher, A.J.,Thompson,
T.B., Thoden, J.D., Baldwin, T.O., and Rayment,I., (1996),The 1,5 A
Resolution crystal structure of bacterial Luciferase in low salt
conditions, The Journal of Biological Chemistry, 271(36): 21956-219678
Kasai, S., Matsui, K.,
and Nakamura, T. (1987) Purification and some properties of FP390
from P. Phosphoreum in Flavin and Flavoprotein 1987 (Edmonton, D.E and
Mccormic, D.B., eds), Walter de Gruyter, Berlin and New York ,647-650.
Kita, A., Kasai,,S., Miki,K.,
(1995), Crystal structure determination of a flavoprotein FP390 from a
luminescent bacterium, Photobacterium phosphoreum, The Journal of Biological
Chemistry,117(3):575-8
Pringgenies, D., (2003),
Kehadiran bakteri pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli,
Disertasi, PPs-ITB
Wada,N., Sugimoto., T.,
Watanabe,H., and Tu,S.C., (1999), Computational Analysis of the Oxygen
Addition at the C4a Site of Reduced Flavin in the Bacterial Luciferase
Bioluminescence Reaction, Photochemistry and Photobiology, 70(1):
116–122
0 comments:
Post a Comment