Thursday, September 27, 2012

Photobacterium phosphoreum SEBAGAI PRODUSEN ANTIBIOTIK ALAM


MAKALAH
MIKROBIOLOGI LAUT

POTENSI BAKTERI SIMBION LUMINISENS Photobacterium phosphoreum SEBAGAI PRODUSEN ANTIBIOTIK ALAM




BAB I
PENDAHULUAN

Bakteri laut adalah salah satu mikroorganisme yang mampu menjaga kesinambungan kehidupan di laut karena kemampuannya mendegradasi senyawa organik mulai dari yang sederhana hingga kompleks, yang masuk ke perairan laut.
Bakteri laut selain berperan sebagai biodegradasi, bioremediasi, biosel, dan peranan lainnya, bakteri juga dapat melakukan bioluminisensi. Bioluminisensi diartikan sebagai produksi cahaya oleh organisme hidup (Nybakken, 1992). Pemancaran cahaya yang dilakukan sangat menguntungkan organisme tersebut karena berguna untuk mencari makan, menghindari musuh, mengenali spesiesnya atau untuk komunikasi, serta untuk aktivitas kamuflase (Papilaya dan Ngili, 2004). Bioluminisensi merupakan sumber cahaya yang penting di ekosistem laut dalam. Salah satu keunikan bioluminisensi adalah cahaya yang dipendarkan pada proses ini dihasilkan dari radiasi panas yang sangat rendah.
Salah satu contoh bakteri yang dapat melakukan bioluminisensi adalah bakteri Photobacterium phosphoreum,  dimana dari dikatakan bakteri simbion karena bakteri ini hidup berasosiasi dengan biota lain (inang) dan melakukan berbagai macam pola hubungan sesuai dengan karakteristik dasar interaksinya. Berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa bakteri Photobacterium phosphoreum mampu bersimbiosis pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli.


BAB II
ISI

Salah satu penyebab terjadinya peristiwa bioluminesensi pada beberapa hewan laut adalah karena adanya bakteri yang bersimbiosis pada organ cahayanya. Hasil penelitian pendahuluan yang sudah dilakukan membuktikan bahwa cumi jenis Loligo duvauceli mempunyai organ cahaya yang menempel pada kantong tintanya dan pada organ tersebut mengandung banyak bakteri. Peristiwa bioluminesensi pada hewan cumi dan cumi-cumi merupakan salah satu hasil interaksi antara bakteri dan organ cahaya yang dimilikinya. Informasi tentang interaksi antara kehidupan bersama dua organisme yang berbeda (simbiosis) belum banyak diungkapkan. Identifikasi bakteri luminesen dari inang organ cahaya cumi merupakan masalah dasar yang harus diketahui untuk penentuan karakteristik dari bakteri tersebut. Bakteri simbion merupakan komunitas bakteri yang hidup berasosiasi dengan biota lain (inang) dan melakukan berbagai macam pola hubungan sesuai dengan karakteristik dasar interaksinya. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya interaksi spesifik antara simbion dan inang, termasuk transfer prekusor nutrient yang memberi peluang adanya kesamaan potensi produk metabolit sekunder di antara keduanya. Bakteri Photobacterium phosphoreum merupakan bakteri yang bersimbiosis pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli. Cahaya tersebut disebabkan aadanya hubungan simbiosis antara cumi dan bakteri yang hidup di dalam tubuhnya. Bakteri tersebut merupakan jenis Photobacterium Phospereum yang hidup di dalam tubuh cumi jenis Loligo duvaucelli.
Karakteristik bakteri hasil identifikasi sampai tahap ini adalah, bakteri tidak tumbuh pada media TCBSA, tergolong ke dalam kelompok bakteri gram negative, berbentuk batang ‘bacilus’, tidak berflagela dan memancarkan cahaya. Bakteri dapat memancarkan cahaya pada konsentrasi 4,6. 109 CFU/ml dengan diameter koloni bakteri pada 0,075 cm, sedangkan pada konsentrasi lebih rendah yaitu 2,0. 104 dengan diameter koloni bakteri 0,025 cm memperlihatkan bakteri luminisensi tidak memancarkan cahaya.
Banyak bakteri yang dapat menghasilkan bioluminesensi, umumnya diketahui kemudian bahwa seluruh bakteri tersebut tergolong ke dalam bakteri gram negatif, motil, memiliki morfologi batang, dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Bakteri-bakteri itu tersebar di daerah lautan, perairan tawar, dan tanah (terestrial). Contoh bakteri penghasil bioluminesensi yang telah diteliti adalah genus Vibrio (V. harveyi, V. fischeri, V. cholera), Photobacterium (P. phosphoreum, P. leiognathi), Xenorhabdus (X. luminescens), Alteromonas (A. haneda), dan Shewanella. [2] Sementara itu, hanya sedikit cendawan yang diketahui dapat menghasilkan bioluminesensi, di antaranya adalah Armillaria mellea, Panellus Stipticus, Omphalotus nidiformis, dan Mycena spp.
Bakteri Photobacterium phosphoreum dilaporkan memiliki aktivitas bioluminisensi (Pringgenies dan Jorgensen, 1994; Papilaya dan Ngili, 2004). Bioluminisensi diartikan sebagai produksi cahaya oleh organisme hidup (Nybakken, 1992). Pemancaran cahaya yang dilakukan sangat menguntungkan organisme tersebut karena berguna untuk mencari makan, menghindari musuh, mengenali spesiesnya atau untuk komunikasi, serta untuk aktivitas kamuflase (Papilaya dan Ngili, 2004).
Bioluminisensi merupakan sumber cahaya yang penting di ekosistem laut dalam. Salah satu keunikan bioluminisensi adalah cahaya yang dipendarkan pada proses ini dihasilkan dari radiasi panas yang sangat rendah .Bakteri Photobacterium phosphoreum memancarkan cahaya yang memungkinkan terlihat dengan kasat mata karena berada di sekitar panjang gelombang 460-490 nm (visible spectrum) (Papilaya dan Ngili, 2004). Di bawah ini adalah contoh gambar Photobacterium phosphoreum yang menghasilkan cahaya biru.
 
Di perairan Indonesia, terdapat hewan cumi jenis komersial yang dapat memancarkan cahaya. Cahaya tersebut disebabkan adanya hubungan simbiosis antara cumi dan bakteri yang hidup di dalam tubuhnya. bakteri tersebut merupakan jenis Photobacterium phospereum yang hiudp di dalam tubuh cumi jenis Loligo duvaucelli.
Dimana enzim Luciferase tersebut dapat memancarkan cahaya pada bakteri luminisensinya karena sifat dari enzim ini dapat mengkatalis tiga substrat yaitu flavin mononukleotida tereduksi (FMNH2), molekul oksigen(O2) dan aldehyde rantai panjang (RCOH). Reaksi tersebut membbaskan flavin (FMN), asam lemak rantai panjang (RCOOH) , molekul air (H2O) sambil memancarkan cahaya tampak (hv).
Fenomena bioluminisensi pada bakteri Photobacterium phophoreum ini dikaji dikarenakan sebagai contoh nanofabrikasi fotonik alamiah yang akan menjadi inspirasi penelitian peralatan optic dan spektroskopik di masa akan datang, untuk monitoring konsentrasi racun di alam dan alat uji yang bioluminisensi yang memakai enzim merupakan pendekatan baru dalam monitoring lingkungan. Selain itu ketersedian bahan baku yang sangnt melimpah di perairan Indonesia juga menjadi alasan untuk melakukan isolasi, identifikasi dan karakterisik sifat-sifat fisika dari bahan aktif penyebab pemancaran cahaya pada bakteri Photobacterium Phosphoreum tersebut.
Pemancaran cahaya pada bakteri luminisensi dikatalis oleh enzim yang dinamai luciferase. Luciferase ini bekerja mereduksi flavin mononukleotida bentuk tereduksi (FMNH2) sebagai substrat untuk menghasilkan cahaya tampak (Fisher et.al, 1996).
Pada saat ini telah dilakukan kajian tentang karakteristik pemancaran cahaya dari Luciferase bakteri Photobacterium phosphoreum (LBPP) ini berupa  jumlah foton yang dipancarkan persatuan waktu,  panjang gelombang, dan pengaruh temperatur, pH, konsentrasi oksigen, dan polutan terhadap intensitas pemancaran cahaya. Walaupun  hasilnya telah dapat menjelaskan pola-pola aktivitasnya secara lengkap, tapi belum dapat menjelaskan mekanisme pemancaran cahaya dari bakteri karena diperlukan data struktur dari LBPP dan sisi aktifnya yang merupakan pusat aktivitas dari luciferase .
Photobacterium Phospereum merupakan bakteri yang dapat memancarkan cahaya paling terang dari semua bakteri luminesens (bakteri yang dapat memancarakan cahaya). Pemanfaatan bakteri ini di pakai dalam aplikasi bioteknologi, seperti biosensor dan pembuatan film tipis. bakteri ini juga digunakan dalam pengujian lingkungan, yaitu untuk mendeteksi bahan-bahan kimia beracun dalam penentuan kualitas air. Dalam bidang kedokteran, bakteri ini digunakan untuk menentukan jumlah ikatan albumin (protein darah) dan mendiagnosis penyakit gigi.
Adapun keuntungan bagi makhluk hidup yang mampu bioluminesensi adalah :

1.      Pertahanan

Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda. Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di lingkungan perairan. Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan organisme bioluminesensi di daratan, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang disebut aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.
Pendaran pada larva kunang-kunang juga merupakan salah satu bentuk aposematisme yang melindunginya dari predator karena akan dikenali sebagai makanan yang tidak enak atau tidak menguntungkan.
Beberapa organisme di laut takut untuk memakan zooplankton karena sebagian besar zooplankton memiliki pendaran yang tetap dapat terlihat saat mereka berada di dalam perut pemangsanya. Akibatnya organisme yang memakan zooplankton tampak berpendar dan ini membuatnya mudah dikenali dan diburu oleh predator yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini terlihat pada peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan udang misid. Udang tersebut akan tampak berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat dinoflagelata berpendar sehingga ikan Porichthys notatus dapat lebih mudah memburu dan memakan udang itu.

 

2.      Predasi

Selain sebagai mekanisme pertahanan, bioluminesensi pada makhluk hidup juga banyak dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di antaranya adalah ikan angel dan hiu Isistius brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa mendekat.
3.      Sinyal kawin
Cumi-cumi jantan pada saat ingin kopulasi (perkawianan) dengan cumi-cumi betina, cumi-cumi jantan berkamuflase untuk menarik perhatian cumi-cumi betina.




BAB III
PENUTUP

Reaksi bioluminisensi terjadi akibat enzim Luciferase pada bakteri Photobacterium Phosphoreum yang diisolasi dari cumi-cumi Jepara Indonesia mengikat substrat-substratnya yaitu FMNH2, O2, dan RCOH. Enzim Luciferase pada bakteri Photobacterium Phosphoreum terdiri dari dua sub unit α dan β dengan berat molekul 41 kD dan 38 kD.










DAFTAR PUSTAKA

Fisher, A.J.,Thompson, T.B., Thoden, J.D., Baldwin, T.O., and Rayment,I., (1996),The 1,5 A Resolution crystal structure of bacterial Luciferase  in low salt conditions, The Journal of Biological Chemistry, 271(36): 21956-219678

Kasai, S., Matsui, K., and Nakamura, T. (1987) Purification and some properties of FP390 from P. Phosphoreum in Flavin and Flavoprotein 1987 (Edmonton, D.E and Mccormic, D.B., eds), Walter de Gruyter, Berlin and New York ,647-650.

Kita, A., Kasai,,S., Miki,K., (1995),  Crystal structure determination of a flavoprotein FP390 from a luminescent bacterium, Photobacterium phosphoreum, The Journal of Biological Chemistry,117(3):575-8

Pringgenies, D., (2003), Kehadiran bakteri pada organ cahaya cumi-cumi Loligo duvauceli, Disertasi, PPs-ITB

Wada,N., Sugimoto., T., Watanabe,H., and Tu,S.C., (1999),  Computational Analysis of the Oxygen Addition at the C4a Site of Reduced Flavin in the Bacterial Luciferase Bioluminescence Reaction, Photochemistry and Photobiology,  70(1): 116–122

0 comments:

Post a Comment